Banyak pihak menilai kontribusi sektor perikanan Indonesia terhadap pembangunan ekonomi rakyat maupun negara masih sangat kecil. Sepertiga dari devisa yang diperoleh dari sektor perikanan adalah dari ekspor udang. Produksi Devisa yang diperoleh dari sektor perikanan 34% berasal dari ekspor udang sebesar 125.596 ton pada tahun 2018. Banyaknya produksi udang ini akan menghasilkan limbah yang banyak juga mengingat hasil samping produksi yang berupa kepala, kulit, ekor dan kaki adalah sekitar 35%-50% dari berat awal. Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% – 75% dari berat udang.
Nilai Ekonomis Limbah Udang
Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang bagus.
Sebagian besar limbah udang yang dihasilkan oleh usaha pengolahan udang berasal dari kepala, kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25%-40%), kitin (15%-20%) dan kalsium karbonat (45%-50%) (Marganof, 2003). Kandungan kitin dari kulit udang lebih sedikit dibandingkan dengan kulit atau cangkang kepiting. Hasil samping ini di Indonesia belum banyak digunakan sehingga hanya menjadi limbah yang mengganggu lingkungan, terutama pengaruh pada bau yang tidak sedap dan pencemaran air (kandungan BOD, COD dan TSS perairan di sekitar pabrik cukup tinggi).
Mengolah Limbah Udang Ramah Lingkungan
Melalui pandekatan teknologi yang tepat, potensi limbah ini dapat diolah lebih lanjut menjadi senyawa polisakarida dimana di dalamnya termasuk chitin [(C8H13NO5)n]. Chitin ini dapat diolah lebih lanjut menjadi chitosan [(C6H11NO4)n] dan glukosamin (C6H13NO5). Ketiga produk ini mempunyai sifat mudah terurai dan tidak mempunyai sifat beracun sehingga sangat ramah terhadap lingkungan.
Chitosan dari limbah udang merupakan zat anti bakteri
Chitin dan chitosan mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi. Penelitian yang sudah dilakukan antara lain pada cumi segar, pindang dan ikan asin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa chitosan mampu menggantikan formalin, bahkan mutu produk yang dihasilkan lebih bagus dibandingkan dengan yang menggunakan formalin. Chitosan merupakan zat anti bakteri, efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri, hal ini disebabkan karena Citosan memiliki polikation alami yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. Chitosan merupakan bahan pengawet ikan selain garam, karena itu chitosan dapat diaplikasikan terhadap produk pindang sebagai pengganti formalin yang marak akhir-akhir ini.
Minimnya pengetahuan manfaat dari chitin-chitosan pada produk perikanan
Masalah utama yang dihadapi dalam memproduksi chitin dan chitosan di Indonesia adalah kualitas produk masih rendah, kontinuitas suplainya belum pasti dan belum bisa diakses oleh semua kalangan. Selain itu banyak masyarakat yang belum mengetahui fungsi dari chitin-chitosan pada produk perikanan.
Bahan untuk membuat chitosan yaitu kulit Udang, NaOH 2% dan 60%, HCl 10%, sedangkan alat-alat yang digunakan adalah panci stainless steel, pH meter, para-para, oven. Aplikasi chitosan pada produk perikanan menggunakan chitosan, asam asetat, aqudes, pindang ikan layang dan ikan manyung asap, sedangkan alat-alat yang digunakan adalah gelas beker, gelas ukur, blender.
Pembuatan chitosan dari kulit udang bersifat eksperimental laboratoris dengan menggunakan metode Linawati Hardjito. Uji laboratorium dilakukan pada chitosan yang dihasilkan untuk memperoleh data primer mengenai kualitasnya dibandingkan dengan chitosan standar. Selanjutnya chitosan tersebut diaplikasikan pada produk perikanan yaitu pindang ikan layang (Decapterus sp) dengan dan tanpa chitosan dan dilihat efektifitas daya awet penggunaan chitosan pada produk olahan ikan.
Kualitas produk olahan perikanan yang diberi khitosan digunakan uji organoleptik
Untuk mengetahui kualitas produk olahan perikanan yang diberi khitosan digunakan uji organoleptik. Uji organoleptik ini menggunakan score sheet organoleptik berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Nilai score berkisar antara 1 dan 9, score 9 untuk hasil yang paling baik dan score 1 untuk hasil yang paling jelek, sedangkan nilai ambang batas penerimaan adalah pada score 5. Uji yang dilakukan meliputi spesifikasi terhadap kenampakan secara keseluruhan (appearance), bau (odour) rasa dan aroma (taste). Kekenyalan (teksture) dan warna (colour).
Selain itu dilakukan uji TPC untuk mengetahui jumlah bakteri yang berkaitan dengan keefektifan chitosan dalam menghambat kerja bakteri dilakukan uji laboratorium berdasarkan metode SNI.
Pembuatan Chitosan dan larutan Chitosan.
Sedangkan pembuatan Larutan Chitosan adalah sebagai berikut : Larutan kitosan dengan konsentrasi 0,25 % dibuat dengan cara yaitu pertama-tama ditimbang kitosan yang masih dalam bentuk serpihan sebanyak 25 g, lalu dilarutkan dengan asam asetat 1% sampai membentuk larutan tersuspensi dan kemudian ditambahkan aquades hingga volumenya mencapai 10 L.
Prosedur pelapisan chitosan. Selanjutnya pindang ikan layang dan ikan manyung asap dilapisi dengan larutan chitosan yang telah dibuat. Larutan chitosan tersebut akan membentuk “edible coating”. Prosedur pelapisannya adalah sebagai berikut:
1. Membuat larutan kitosan dengan konsentrasi 0.25%.
2. Setelah proses pemindangan selesai, selanjutnya ikan pindang dicelupkan ke dalam larutan kitosan (0,25%) selama 1 menit kemudian ditiriskan.
3. Dilakukan pengujian mutu yang meliputi uji organoleptik dan TPC.
Demikian dulu tentang, Nilai Ekonomis Limbah Udang dan Cara Menanggulangi Masalah Pencemaran Lingkungan, lain waktu kita bahas uji standar chitosan, terima kasih.